Kakak dan Sebuah Kesempatan


shop.gallerys,id

            Hayati tak henti-hentinya mengerang, tubuh di bagian bawahnya bersimbah darah, meski dokter sudah menjahit lukanya. Ia merintih sejadi-jadinya. Ruang ICU saat itu begitu kaku, Rea hanya terisak menatap kesakitan luar biasa ibunya. Hayati bahkan tidak mengenali anak yang ada di depannya. Ia hanya mampu meraung, “Sakit sekaaali … inilah sakit yang akan membunuhkuuu … tidak aaada tandingannya. Mamak … oh .…”

            Terbukalah pintu ruangan beku itu, tatapan nanar Hayati menangkap wanita tua berumur setengah abad di depannya. Ia erat mendekap tangannya, “Maafkan akuuu …,” isaknya mengguyurkan air mata.

            “Iya Dek, saya maafkan.” Jumriati menghibur, mengingatkan lembut adiknya untuk berdzikrullah. Hayati lantang bertakbir dan beristighfar, lalu mengerang. Begitu seterusnya.

***

            Hayati terlahir yatim. Bersama ketiga kakak perempuannya dan seorang kakak laki-laki. Ibu Hayati begitu miskin. Lagi-lagi untuk kedua kalinya ditinggal wafat suaminya. Di antara bersaudara, yang begitu mirip Hayati ialah Jumriati, kakak ketiganya. Sehari-hari mereka bertahan hidup dengan kondisi memprihatinkan, bekerja serabutan dari masangking, menjunjung, menjual kelapa, mencari kerang, dan menjual tumbu. Keluarga mereka tidak menaruh prioritas pada pendidikan. Di antara anak-anak Mamak, hanya Jumriati yang berhasil sekolah setingkat Menengah Atas di Kota. Gadis cantik bermata bulat itu memang begitu semangat untuk belajar, apalagi saat ia mendaftarkan diri menjadi tenaga pendidik di salah satu Taman Kanak-kanak belum diacc, lantaran pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas. Maka takdir pun menemukan jalannya, di tempat dan waktu yang tepat.

            Jumriati, siswi yang terlambat seminggu masuk ke sekolah bersua dengan salah seorang guru yang berasal dari tanah Jawa. Guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Ia selalu tergelak tawa mendengar logat sang guru, yang membuat siswi suku bugis limpung ditaruh bingung. Maka, dimulailah kisahnya!

            Mereka ternyata berjodoh. Aduhai, cinta memang selalu memilih insan berbeda untuk beriringan. Hidup Jumriati berubah! Memang dasarnya ia bertabiat pekerja keras, membuka usaha berjualan di rumah sekitar sekolah, meski dilarang bekerja oleh suaminya. Hingga suatu ketika, perempuan bugis berambut keriting itu bersama suaminya, kembali menengok kampungnya, mendapati 2 adik dan Mamaknya hidup memprihatinkan. Apalagi kondisi si bungsu Hayati, salah satu telapak kaki bengkak. Tampak pincang saat berjalan. Katanya, ia menginjak kulit durian, yang masih tertempel ganas di telapak kakinya yang tak kenal sandal jepit. Kasihan, dan untuk membantu mengurangi beban Mamaknya, Jumriati membawa Hayati untuk dibesarkan.

            Hal pertama yang dilakukan Jumriati ialah mengoperasi kaki adik bungsunya. Sehari-hari Hayati gesit membantu pekerjaan rumah, menjaga Anti-anak pertama Jumriati, Hayati juga bersekolah. Baginya, Jumriati dan suaminya sudah seperti orangtuanya sendiri. Sampai suatu saat Jumriati bertemu pria tampan nan mapan. Setelah cocok, mereka pun melangsungkan pernikahan di rumah Jumriati. Allah mengkaruniakannya seorang putra dan 3 orang putri. Sedang, Jumriati telah memiliki 5 orang anak, seorang lelaki dan 4 orang perempuan, anak bungsunya berusia 10 tahun, nanti akan aku ceritakan siapa si bungsu ini? Dan takdir apa yang dipersiapkan untuknya. 

Tepat usia 10 tahun si bungsu, putri Jumriati, yang juga seumuran dengan anak laki-laki pertama Hayati. Terjadi peristiwa yang menjadi bagian sejarah hidup si bungsu. Suami Jumriati menjadi korban tabrak lari dan beliau meninggal di tempat selepas mengisi ceramah di bulan ramadhan. Semoga Allah mengampuninya, menerima amalnya dan mempertemukan kita di tempat kembali terbaik. Hari itu adalah hari duka dalam pertanggalan Jumriati. Bahkan, si bungsu kering air matanya dan perih tak kuasa lagi mengeluarkannya meski ia ingin. Ia juga begitu takut untuk menyentuh dahi atau tangan kaku dan dingin bapaknya.

Hidup Jumriati berubah! Dulu, ia adalah seorang istri pegawai yang dihormati, kini seketika menyandang status janda dan dipandang sebelah mata. Jumriati si pekerja keras, dengan gaji pensiunan PNS suaminya, uang asuransi dan penjualan pakaian bekas di pasar membuktikan pada semua orang, kalau ia dengan kondisi seperti itu mampu menyekolahkan semua anaknya hingga ke perguruan tinggi di tanah Jawa, tak jauh dari kampung mendiang suaminya.

Saat kejadian nahas itu, 2 anak Jumriati berada di Jawa telah kuliah, yang 1 lagi telah lulus SMA dan akan lanjut menyusul kakak-kakaknya, anak ke-4 duduk di bangku sekolah setaraf Menengah Pertama, sedang si bungsu masih di Sekolah Dasar. Maka berbagi tugaslah mereka, anak ke-4 mengurus rumah dan Jumriati beserta si bungsu berjualan di pasar.

Seperti mengulang sejarah, Hayati kini memiliki 4 orang anak, dengan anak bungsunya seorang perempuan. Mereka hidup berkecukupan. Sampai suatu saat, anak pertama Hayati yang menempuh pendidikan di pelayaran akan dwisuda dan itu memakan biaya yang begitu besar. Ia terpaksa kongkalikong dengan kakak laki-lakinya menukar dan menjual tanah milik Jumriati di kampung, warisan dari Mamak. Sedang, tanah di area belakang dengan harga jual tidak begitu tinggi, milik Hayati diberikannya pada Jumriati. Karena acara wisuda anak Hayati adalah hal yang begitu penting nan genting, dan demi anak laki-laki semata wayang kesayangannya.

Maka, sampailah kabar itu ke Jumriati. Ia begitu sedih dan marah. Segala sekelumit adegan bermunculan. Ia telah membesarkan Hayati sedari kecil sampai adiknya menikah, tapi setelah Jumriati menjanda. Ia merasa tidak dihargai lagi sebagai seorang kakak yang memeliharanya. Hayati tidak mengkonfirmasi tentang keputusan sepihaknya. Maka, tali persaudaraan terurai sudah.

***

“Sebenarnya, dengan kondisi seperti ini sudah tidak ada harapan lagi,” lirih Ari, anak Jumriati menatap nanar. Sedang sekeluarga selalu menghibur, akan membuatkan ramuan obat setelah Hayati keluar dari rumah sakit. Di usia 10 tahun si bungsu, anak Hayati. Terjadi tragedi nahas yakni kecelakaan motor. Hayati yang dibonceng suaminya hendak ke kebun memeriksa cengkeh, karena setiap bibit cengkeh yang ditanam suaminya selalu mati, lantas di jalan raya, disambar mobil dari arah berlawanan, yang hendak menyalip motor di depan, maka Hayati terpelanting jauh, berpisah dengan suami. Keduanya pingsan. Kondisi Hayatilah yang sungguh kritis.

Jumriati tak henti-hentinya menuntun kalimat syahadat dan tahlil pada adik yang dikasihinya, ia juga membisikkan ayat-ayat yang dihafalnya. Allah memang maha penyayang, lihatlah kuasanya! Ia memberi sebuah kesempatan seorang adik untuk menggapai kembali cinta sang kakak yang sempat hilang. Inilah kisah cinta yang sesungguhnya. Cinta dua bersaudara yang baru mereka sadari di penghujung. Padahal logika manusia, mustahil sang adik untuk dapat bertahan selama itu. Tetapi, ia seperti menunggu kedatangaan kakak. Satu kata cinta dari bibir kaku pesakitan sang adik yakni “Maaf”. Cinta yang lenyap sejenak karena secuil materi yang sebenarnya tidak berharga menurut kacamata akhirat.

***
“Jadi, berbaikanlah sama kakakmu. Semua masalah kan bisa dibicarakan. Semua hanya masalah konfirmasi. Jangan sampai mengulang kembali sejarah kemarin. Maafkan aku, aku kembali menceritakan kisah Ibumu, saat itu usiamu 10 tahun, tentu tidak banyak  yang kamu tahu. Oh iya, anak bungsu yang aku maksud dicerita tadi ialah aku sendiri. Akulah saksi hidup Mamakku membantu menggapai cita-cita beliau, untuk menjadikan semua anak Mamak menjadi Sarjana.”

“Cintailah Bapak Mamakmu sebanyak kamu mencintai dirimu sendiri. Meski, orang tua bisa khilaf karena anak yang dikasihinya. Allah sang Maha Pengasih telah memberi sebuah kesempatan hebat yang akan selalu dikenang dalam sejarah hidup.”

“Hayati akan tetap hidup di hati kakak dalam doa .…”

Komentar